PENDAHULUAN
Kelangsungan hidup manusia selama ini tergantung pada makanan yang saat ini mengalami kerusakan yang selalu diatasi dengan metode-metode yang dapat mencegah proses alami perusakan/ pembusukan. Dalam kehidupan saat ini diperlukan peningkatan dalam pekerjaan seperti penyimpanan makanan. Kelestarian makanan merupakan seni kuno atau cara kuno dengan metode-metode yang turun temurun. Pengasapan, pengasinan, pengeringan, fermentasi atau kombinasi dari salah satunya, telah digunakan sejak dulu.
Kelangsungan atau pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme dalam makanan sangat kompleks, yang dipengaruhi oleh faktor kimia dan fisika yaitu: (1). Jangkauan dan ketersediaan nutrisi, (2). Suhu, (3). Aktivitas air, (4). Tekanan oksigen dan ketersediaan elektron penerima, (5). Eh dan pH. Mikroorganisme biasanya menunjukkan pertumbuhan dan atau keberadaannya melebihi batas jangkauan yang biasanya dari masing-masing parameter. Kerusakan dapat diperlambat atau dicegah dengan cara menyelaraskan satu atau lebih mikroorganisme pada nilai sub optimal seperti pertumbuhan mikroflora yang mengalami kerusakan dapat dicegah. Metode pengawetan makanan secara tradisional seringkali mempengaruhi perubahan yang bermakna pada karakter produk; sesungguhnya beberapa makanan tidak hanya mempunyai perluasan dengan cara-cara tersebut tapi mempunyai karakteristik rasa, aroma dan tekstur yang sama baiknya.
Intinya pH penting bagi makanan yang berhubungan dengan :
1. pH alami dan asam organik yang ada dalam makanan merupakan faktor signifikan yang membedakan tidak hanya tipe organisme yang diisolasi tapi juga tipe organisme yang akan tumbuh dan bertahan selama penyimpanan.
2. pH makanan dapat dibuat rendah dengan penambahan acidulants (seperti : acetic, citric, ascorbic and lactic acids) yang kemungkinan mempunyai aktivitas antimikrobial.
3. Beberapa makanan yang difermentasi, terutama produk susu (seperti keju dan yoghurt) daging dan minuman alkohol dan antimikroba berakibat luas yang disebabkan oleh keadaan pH dibawah pertumbuhan kerusakan mikroflora dengan memproduksi lactic atau asam asetik.
4. Beberapa makanan dan minuman yang diawetkan dengan menambahkan konsentrasi rendah pencampuran yang menyebabkan pertumbuhan status dan kematian; beberapa campuran merupakan asam lemah dan efektif pada pH rendah.
Secara umum, buah-buahan, minuman ringan, cuka dan anggur memiliki nilai pH yang rendah di mana kebanyakan bakteri tidak akan tumbuh. Dan produk-produk ini memiliki kualitas yang baik menjaga. Ragi dan jamur pembusukan mendominasi meskipun bakteri pembusukan dapat terjadi, biasanya disebabkan oleh pertumbuhan bakteri asam laktat yang toleran terhadap pH asam dan asam lemah. Kebanyakan daging, makanan laut dan susu mentah memiliki nilai pH lebih dari 5-6 yang membuat mereka rentan terhadap pembusukan dan pertumbuhan bakteri patogen yang mungkin. Sayuran juga memiliki nilai pH yang cukup tinggi dan rentan terhadap pembusukan bakteri.
Flora mikrobial alami makanan tertentu juga tahu dan merupakan karakteristik stabil konsekuen pada komposisi makanan. Batas pH pertumbuhan berbeda secara luas di antara mikroorganisme (Corlett Dan Brown, 1980). Secara umum, bakteri heterotrofik cenderung lebih toleran keadaan asam di antara mikroorganisme makanan umum. Perkiraan rentang pH adalah: bakteri, 4-9, ragi, 1,5-8; cetakan 1,5-11. Bakteri Acidophilic dan alkalophilic yang tumbuh di luar batas ini sudah dikenal tetapi jarang makanan organisme pembusuk signifikan. Batas pH untuk pertumbuhan di media laboratorium sering jauh lebih luas daripada yang diamati pada makanan, karena untuk interaksi dengan bahan kimia lain yang berlaku dan parameter fisik (Corlett Dan Brown, 1980). Sebagai contoh, pH terendah di mana pertumbuhan dapat terjadi akan lebih rendah jika keasaman muncul dari asam tidak tetap dibandingkan dengan asam permanen seperti asetat.
Efek berpotensi berbeda dari rezim pelestarian asam telah diakui (Corlett Dan Brown, 1980): asam kuat yang mempunyai pH eksternal lebih rendah dari pada permeantnya melalui membran sel : asam dapat memberi pengaruh melalui efek denaturing pH rendah pada enzim yang terdapat pada permukaan sel dan pada penurunan pH sitoplasma karena meningkatnya permeabilitas dari proton saat terjadi gradien pH sangat besar. Asam lemah yang lipofilik dan menembus melalui membran: dengan efektivitas utama asam seperti Oof adalah untuk menurunkan pH sitoplasma tetapi sekarang menjadi jelas bahwa asam undissociated mungkin memiliki efek spesifik pada metabolisme yang memperkuat efek dari asam lemah potensial seperti karbonat ion, sulfit dan nitrat yang lebih kuat menghambat pada pH rendah.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bahan Tambahan Makanan
Dalam undang-undang kesehatan No.23 tahun 1992 disebutkan bahwa peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan diselenggarakan melalui 15 macam kegiatan, salah satunya adalah pengamanan makanan dan minuman. Upaya pengamanan makanan dan minuman akan ditingkatkan untuk mendukung peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna. Semua itu merupakan upaya untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan mutu ( Depkes RI, 1992)
Bahan Tambahan Pangan (BTP) dalam pengertian luas adalah bahan yang ditambahkan ke dalam produk pangan selain bahan baku utama. Secara khusus BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau karakteristik pangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi. BTP dapat ditambahkan pada proses produksi, pengemasan, transportasi atau penyimpanan (Anonim, 1979). Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, yang dimaksud "bahan tambahan pangan" adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental” (Anonim, 1996).
Lebih lanjut Anonim (1996) menjelaskan mengenai Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan makanan, BTP pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian dan perusakan lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme.
B. Pengawetan Bahan Pangan
Proses pengawetan adalah upaya menghambat kerusakan pangan dari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba pembusuk yang mungkin memproduksi racun atau toksin. Tujuan pengawetan yaitu menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan, mempertahankan mutu, menghindarkan terjadinya keracunan dan mempermudah penanganan dan penyimpanan. Daya keawetan pangan berbeda untuk setiap jenisnya. contohnya telur yang diawetkan dapat bertahan 1-2 bulan; daging yang dibekukan dapat awet 6-9 bulan; ikan asin sekitar enam bulan; apel segar yang disimpan dengan kontrol atmosfer (dalam ruang pendingin atau refrigerator/chiller pada temperatur 6-10 °C) dapat awet sekitar 3 bulan (Buckle et al., 1978).
Jenis pengawet yang diizinkan digunakan dalam pangan terdiri dari asam asetat, kalsium asetat, natrium asetat, asam benzoat dan garamnya (kalium benzoat, kalsium benzoat, dan natrium benzoat), asam propionat dan garamnya (kalium propionat, kalsium propionat, dan natrium propionat), asam sorbat dan garamnya (kalium sorbat, kalsium sorbat, dan natrium sorbat), belerang dioksida dan garam sulfit (kalium bisulfit, kalium metabisulfit, kalium sulfit, kalsium bisulfit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit, dan natrium sulfit), p-hidroksibenzoat (etil p-hidroksibenzoat, metil p-hidroksibenzoat, dan propil p-hidroksibenzoat), lisozim hidroklorida, nitrat (kalium nitrat dan natrium nitrat), dan nitrit (kalium nitrit dan natrium nitrit) (Kristianingrum, 1997).
Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan anorganik dalam bentuk asam atau garamnya. Setiap jenis bahan pengawet mempunyai aktivitas dan keefektifan masing-masing dalam menghambat pertumbuhan bakteri, khamir ataupun kapang. Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada yang anorganik karena bahan ini lebih mudah dibuat dan dipakai dalam bentuk asam maupun garamnya seperti asam sorbat, asam propionat, asam benzoat dan asam asetat (Desrosier, 2001). Zat pengawet anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, nitrat dan nitrit. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na, atau K-sulfit, bisulfit dan metabisulft (Fardiaz, 1993).
Karbondioksida adalah sebuah gas yang tidak berwarna dan tidak beracun pada konsentrasi yang sesuai atau biasa. Penggunaan karbondioksida yang dilarutkan dalam minuman sudah sejak lama dilakukan untuk membuat minuman bersoda yang biasa disebut dengan karbonasi. Manfaat karbonasi selain untuk membuat gelembung atau buih bahkan dari sifat-sifat karbondioksida yang larut dalam minuman juga berfungsi sebagai penghambat mikroorganisme dalam minuman bersoda (Afandi, 2009)
Asam benzoat (C6H5COOH) dan garamnya merupakan bahan pengawet yang banyak digunakan secara luas pada bahan makanan yang bersifat asam. Bahan ini efektif untuk mencegah pertumbuhan khamir, kapang dan bakteri pada tingkat keasaman pH 2.5 – 4.0. Asam benzoat secara alami terdapat dalam tanaman rempah-rempah seperti cengkeh dan kayu manis dan juga buah berry (Fox et al., 1982). Walaupun garam natrium dan amonium benzoat bisa digunakan tapi molekul-molekulnya asam benzoat itu sendiri mempunyai sifat yang mematikan karena molekul-molekul yang tidak terdisosiasi diduga merupakan komponen yang aktif (Permadi, 1986).
Asam Propionat (CH3CH2COOH) yang mempunyai struktur yang terdiri dari tiga atom karbon tidak dapat dimetabolisasi oleh mikroba. Hewan tingkat tinggi dan manusia dapat memetabolisasi asam propionate ini seperti asam lemak biasa. Propionat efektif terhadap kapang dan beberap khamir pada makanan dan minuman dengan tingkat keasaman pH diatas 5 (Buckle et al., 1978).
Asam sorbat berasal dari asam lemak rantai panjang yang tidak jenuh. Asam sorbat efektif sebagai agensia fungistatis (menghambat pertumbuhan jamur) telah dijelaskan oleh Gammon (1985). Mekanisme asam sorbat dalam mencegah pertumbuhan mikroba adalah dengan mencegah kerja enzim dehidrogenase terhadap asam lemak. Struktur a-diena pada asam sorbat dapat mencegah oksidasi asam lemak oleh enzim tersebut. Sorbat lebih aktif pada makanan dengan tingkat keasaman diatas 6.5 (Desrosier, 2001).
Nitrit dan nitrat terdapat dalam bentuk garam kalium dan natrium nitrit. Natrium nitrit terbentuk butiran berwarna putih, seedangkan kalium nitrit berwarna putih atau kuning dan mempunyai daya larut tinggi dalam air. Nitrit dan nitrat dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada daging dab ikan dalam waktu yang singkat. Bahan ini sering digunakan pada daging yang telah dilayukan untuk mempertahankan warna merah pada daging (Anonim, 2000).
Natrium metabisulfit yang diperdagangkan berbentuk kristal. Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses pencoklatan pada buah sebelum diolah, menghilangkan bau dan rasa getir terutama pada ubi kayu serta untuk mempertahankan warna agar tetap menarik. Natrium metabisulfit dapat dilarutkan bersama-sama bahan atau diasapkan. Prinsip pengasapan tersebut adalah mengalirkan gas SO2 ke dalam bahan sebelum pengeringan (Santoso, 2006)
Paraben secara teknis dikenal sebagai ester dari asam para-hidrobenzoat. Bahan ini dikembangkan dari asam organik dan alkohol. Walaupun paraben adalah produk alam namun sekarang paraben diproduksi secara sintesis. Bahan ini dapat larut dalam air dan berfungsi untuk mencegah pembusukan bahan pangan serta kontaminasi jamur. Sehingga produk yang diberi tambahan bahan ini dapat tahan lama karena produk tersebut tahan terhadap jamur dan mikroba (Fardiaz, 1993).
PEMBAHASAN
A. pH Bahan pangan sebagai faktor pengendali
1. pH bahan pangan
Nilai pH suatu bahan berhubungan dengan derajat keasaman ataupun kebasaan bahan pangan tersebut. Nilai pH 7 menunjukkan keadaan netral. Harga dibawahnya menunjukkan bahwa pangan tersebut bersifat asam, sedangkan nilai di atasnya menunjukkan bahwa pangan tersebut bersifat basa. Keadaan yang bersifat asam mudah dicapai dengan penambahan asam, sedangkan keadaan basa dapat dicapai dengan penambahan basa (Cahyadi, 2008).
Pengelompokan pangan berdasarkan nilai pH-nya adalah sebagai berikut:
· Pangan berasam rendah adalah pangan yang mempunyai nilai pH 4,6 atau lebih, misalnya daging, ikan, susu, telur dan kebanyakan sayuran. Pangan semacam ini harus mendapatkan perlakuan pengawetan secara hati-hati karena mudah mengalami kerusakan oleh bakteri, termasuk bakteri patogen yang berbahaya.
· Pangan asam adalah pangan yang mempunyai pH 3,7 - 4 misalnya beberapa sayuran dan buah-buahan.
· Pangan berasam tinggi adalah pangan yang mempunyai pH di bawah 3,7, misalnya sayur asin, acar dan lain-lain.
Desroiser (1969) menyebutkan kebanyakan bahan segar alami yang dikonsumsi manusia sebagai bahan pangan bersifat asam. Rentang harga pH sayuran ialah 6,5 sampai 4,6. Rentang untuk buah-buahan ialah dari 4,5 sampai 3,0. Daging hewan bila baru dipotong pHnya kira-kira netral (7,2) tetapi setelah dua hari harga pH akan menjadi kira-kira 6,0. Susu memiliki harga pH mendekati 6,4. Oleh karena itu ada dua jenis fermentasi yang penting dalam bahan pangan yaitu oksidatif dan alkoholis, maka pertumbuhan organisme dikendalikan oleh asiditas medium.
pH produk dapat dengan mudah ditentukan dengan pH meter, namun nilai ini saja mungkin tidak cukup untuk memprediksi tanggapan mikroba. Misalnya untuk mengetahui asam yang bertanggung jawab untuk suatu pH tertentu, beberapa asam terutama asam organik, lebih penghambatan daripada yang lain. Tidak hanya tingkat pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh pH tetapi juga dipengaruhi oleh tingkat kelangsungan hidup selama penyimpanan, pemanasan, pengeringan dan bentuk-bentuk pengolahan. Juga pH awal mungkin tidak cocok, tetapi karena adanya kompetitif atau pertumbuhan dari organisme itu sendiri pH dapat menjadi tidak menguntungkan. Sebaliknya, pH awal dapat membatasi, namun pertumbuhan sejumlah mikroorganisme dapat mengubah pH ke kisaran yang lebih menguntungkan untuk pertumbuhan mikroorganisme lain (Frazier dan Westhoff, 1978).
Setiap mikroorganisme memiliki kisaran pH maksimum dan minimum untuk dapat bertumbuh. Tabel dibawah ini menunjukkan kisaran pH makssimum dan minimum untuk pertumbuhan mikroba.
Tabel 1. Tipe Kisaran pH untuk pertumbuhan mikroorganisme
Organisme | Kisaran pH |
Bacillus acidocaldarius Acetobacterium sp. Clostridium thermoaceticum Saccharomyces cerevisiae Entereococcus faecalis Escherichia coli Ragi Jamur | 2,0 – 5,0 2,8 – 4,3 5,0 – 8,0 2,35 – 8,6 4,4 – 9,1 4,4 – 8,7 1,5 – 11,0 2,5 – 8,5 |
Sumber : Booth , The Preservation of Food; Suriawiria, Pengantar Mikrobiologi Umum
2. Asidulan
Asidulan atau pengatur keasaman merupakan senyawa kimia yang bersifat asam dan merupakan salah satu dari bahan tambahan pangan yang sengaja ditambahkan. Asidulan dapat bertindak sebagai penegas rasa dan warna atau menyelubungi after taste yang didak disukai. Sifat senyawa ini dapat mencegah pertumbuhan mikroba dan bertindak sebagai pengawet. Kemudian pH rendah buffer yang dihasilkannya mempermudah proses penngolahan. Bahan tersebut bersifat sinergis terhadap antioksidan dalam mencegah ketengikan dan browning. Penggunaan pengatur keasaman di dalam bahan pangan yaitu untuk memperoleh rasa asam yang tajam, sebagai pengontrol pH atau sebagai pengawet (Cahyadi, 2009).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88 bahwa yang dimaksud dengan pengatur keasaman adalah bahan tambahan pangan yang dapat mengasamkan, menetralkan dan mempertahankan derajat keasaman. Berdasarkan fungsinya sebagai pengatur keasaman, maka asidulan dapat dikelompokkan sebagai berikut :
· Pengasaman : asam asetat, asam suksinat, asam malat, asam laktat, asam piruvat, asam sitrat.
· Basa / penetral : Natrium bikarbonat, NaOH, Amonium bikarbonat.
· Penetral : Asam-asam lemak jenuh dan asam-asam lemak tak jenuh.
B. Fermentasi bahan pangan
1. Prinsip dasar fermentasi
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.
Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton. Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya. Respirasi anaerobik dalam otot mamalia selama kerja yang keras (yang tidak memiliki akseptor elektron eksternal), dapat dikategorikan sebagai bentuk fermentasi yang mengasilkan asam laktat sebagai produk sampingannya. Akumulasi asam laktat inilah yang berperan dalam menyebabkan rasa kelelahan pada otot.
Secara alami terdapat tiga jenis proses fermentasi, yaitu :
a. Fermentasi asam laktat
· Fermentasi asam laktat adalah respirasi yang terjadi pada sel hewan atau manusia, ketika kebutuhan oksigen tidak tercukupi akibat bekerja terlalu berat
· Di dalam sel otot asam laktat dapat menyebabkan gejala kram dan kelelahan.
Laktat yang terakumulasi sebagai produk limbah dapat menyebabkan otot letih dan nyeri, namun secara perlahan diangkut oleh darah ke hati untuk diubah kembali menjadi piruvat
b. Fermentasi alkohol
· Fermentasi alkohol merupakan suatu reaksi pengubahan glukosa menjadi etanol (etil alkohol) dan karbondioksida.
· Organisme yang berperan yaitu Saccharomyces cerevisiae (ragi) untuk pembuatan tape, roti atau minuman keras.
c. Fermentasi asam cuka
Merupakan suatu contoh fermentasi yang berlangsung dalam keadaan aerob. fermentasi ini dilakukan oleh bakteri asam cuka (Acetobacter aceti) dengan substrat etanol. Energi yang dihasilkan 5 kali lebih besar dari energi yang dihasilkan oleh fermentasi alkohol secara anaerob.
Contoh makanan dan minuman hasil fermentasi :
1. Tempe
Tempe merupakan hasil fermentasi dari kedelai dengan menggunakan jamur Rhizopus oryzae. Tempe selain dibuat dari kedelai dapat juga dibuat dari berbagai bahan nabati berprotein . Jamur selain berfungsi mengikat/menyatukan biji kedelai sehingga menjadi satu kesatuan produk yang kompak juga menghasilkan berbagai enzim yang dapat meningkatkan nilai cerna tempe saat dikonsumsi.
- Tape
Tape dibuat dari ubi kayu ataupun beras ketan dan merupakan makanan yang Indonesia dan Malaysia. Dalam pembuatan tape melibatkan tiga kelompok mikroorganisme yaitu :
ü Endomycopsis fibuliger
Mikrobia perombak pati menjadi gula yang menjadikan tape pada awal fermentasi berasa manis.
ü Saccharomyces dan Cabdida
Akan menyebabkan mikrobia yang mengunakan gula sebagai sumber karbon , gula mampu tumbuh dan menghasilkan alkohol. Yang masuk dalam kelompok ini adalah yang menyebabkan tape berubah menjadi alkoholik.
ü Acetobacter aceti
Alkohol juga memacu tumbuhnya bakteri pengoksidasi alkohol yaitu yang mengubah alkohol menjadi asam asetat dan menyebakan rasa masam pada tape yang dihasilkan.
- Keju
Keju merupakan hasil fermentasi susu, tetapi dalam proses produksi yang lebih kompleks. Keju sangat beragam, tedapat lebih dari 20 klas dan ratusan vaietas, namun awal proses nya adalah sama.
- Nata de coco
Adalah selulosa murni dan merupakan produk hasil kegiatan mikroba Acetobacter xylinum. Mikroba ini dapat merubah gula menjadi selulosa. Jalinan selulosa inilah yang membuat nata terlihat putih. Sebagai makanan berserat, nata de coco memiliki kandungan selulosa ± 2,5 % dan air lebih dari 95 %. Nata de coco memiliki kandungan serat kasar 2,75 %, protein 1,5 – 2,8 %, lemak 0,35 % dan sisanya air.
- Wine
· Bahan yang utama diperlukan adalah buah (jika buahnya anggur disebut wine . Tetapi bila menggunakan buah bukan anggur maka diberi nama sesuai nama buahnya.yang saja, misal : Pisang maka disebut wine pisang dan sebagainya tergantung nama buah).
· Selain buah diperlukan juga peralatan (fermentor) dan mikroorgnisme yaitu khamir, dan nutrisi tambahan.
· Hampir semua buah dapat dibuat wine terutama yang mengandung gula. Dapat pula dari bahan yang kaya pati misalnya beras ketan.
- Asam sitrat
· Asam sitrat dihasilkan melalui fermentasi
· Menggunakan jamur Aspergillus niger. Meskipun beberapa bakteri mampu melakukan, namun yang paling umum digunakan adalah jamur ini. Pada kondisi aerob jamur ini mengubah gula atau pati menjadi asam sitrat melalui pengubahan pada TCA
- Amilase
· Amilase (alfa, beta dan glukoamilase) merupakan enzim yang penting dalam bidang pangan dan bioteknologi.
· Amilase dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti tanaman, binatang dan mikroorganisme. Penggunaan mikroba dianggap lebih prospektif karena mudah tumbuh, cepat menghasilkan dan kondisi lingkungan dapat dikendalikan.
8. Fermentasi Alkohol
· Mikroorganisme yang terlibat adalah : Khamir dari genus Saccharomyces sp.
· Saccharomyces yang paling banyak digunakan adalah S. cerevisiae dan S. carlbergensis.
· Khamir ini akan mengubah gula pada substrat menjadi alkohol pada kondisi aerob. Jika khamir ini ditumbuh kan pada suasana aerob, maka akan dihasilkan sel lebih banyak daripada metabolitnya.
· Produk ini dimanfaatkan dalam memproduksi ragi roti.
C. Pengawetan Dengan Asam Organik Lainnya
Graham & Lund (1986) menyebutkan bahwa efek inhibitor dari asam sitrat dalam Cl. Botulinium dapat terjadi dengan penambahan Ca2+ atau Mg2+ dan oleh Fe2+ atau Mn2+ untuk percepatan yang diminimalisir. Mereka membuat efek inhibitory dalam asam sitrat pada organisme ini walaupun kelat dari kation divalen membuat asam sitrat tersebut tidak tersedia untuk organisme. Khelatasi juga pada kation divalen juga berperan penting dalam keracunan sitrat yang terjadi pada bakteri E. Coli dalam pH rendah, hal tersebut telah teramati ketika asam-asam organik lain merusak struktur membran.
Asam askorbat bisa terdapat secara alami pada berbagai makanan dan sebagai bahan tambahan di makanan yang berguna untuk menambah daya simpan (meningkatkan kualitas). Asam askorbat dan asam inaskorbat juga bertindak sebagai penahan dalam bentuk nitrosamin pada produk daging yang diawetkan. Efek racun dalam asam askorbat karena adanya ion metal telah ditemukan sebagai turunan dari hidroxil radical yang kemudian menyerang molekul biologi (Czapski et al., 1983). Penjelasan untuk penghambatan pertumbuhan bakteri adalah dengan asam dehydroaskorbic yang merupakan hasil dari oksidasi asam askorbat pada saat berbentuk radikal, penyebab pertumbuhan yang terlarang (fletcher et al., 1983). Berdasarkan penelitian yang telah ada mengenai efek racun asam askorbat dan asam dehidroaskorbat terhadap Campylobacter jejuni telah disimpulkan bahwa pada bentuk lebih beracun daripada sebelumnya (Juven & Kahner, 1986).
D. Parabens
Senyawa ester pada p-hidroxybenzoic mempunyai spektrum dalam anti mikrobial karena tingginya nilai pKa, akibatnya senyawa ester tersebut efektif sebagai penghambat pada senyawa ragi, moulds dan bakteri pada pH netral (Baird-Parker, 1980). Senyawa tersebut hampir terlarut semua dalam kondisi pH netral dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketergantungan pada perubahan pH. Peningkatan aktivitas akan sama dengan peningkatan rantai kaki ester, namun kemampuan terlarutnya akan menurun (Chicester & Tanner, 1972) dan hanya senyawa methyl, ethyl dan propil ester yang biasa digunakan. Mekanisme kerja dari parabens tidak seketika namun dengan menyelimuti sebagai membran aktif seperti penyerap sinar UV (Furr & Russel, 1972) dan akumulasi asam amino yang aktif menjadi terhambat (Freese et al., 1973; Eklund, 1980) diperkirakan parabens mempunyai efek langsung terhadap syntesis DNA, RNA dan protein (Ness & Eklund, 1983). Eklund (1985b) telah melaporkan bahwa parabens mengurangi keseimbangan pH antar membran pada E.coli tapi tidak mempengaruhi membran potensial. Bagamanapun, pertumbuhan keseluruhan sel terhambat oleh adanya parabens dan tidak terpengaruh oleh adanya penurunan pH Internal (Booth et al., unpublished data). Kesimpulannya parabens juga berpengaruh pada struktur membran. Penghanbat pertumbuhan bekerja terpusat dan tidak menunjukkan kerusakan membran non spesifik.
E. Prinsip Kerja Bahan Pengawet- Co2, Sulfit, Nitrit Dan Nitrat.
1. Karbon Dioksida
Karbon dioksida telah diakui terbukti penting dalam pertumbuhan mikrobakteri dan sitem fermentasi (Jones & Greenfield, 1982; Silva & Pirt, 1984). Sebagai bahan biosintesis pada karbolaksi dan sebagai produk hasil dekaboksilasi. Modifikasi atmosfer yang diperkaya dengan karbon dioksida hal “alami” yang tersebar luas yang bisa memperpanjang jenis makanan beku tak steril. Konsentrasi Co2 lebih besar dari 5% efektif melawan organisme psycotrophic yang menyebabkan kerusakan pada makanan beku (Clark & Takacs, 1980)
Efek signifikan dari bahan pengawet telah ditunjukkan dengan fermentasi ikan dan daging segar (Blickstand et al., 1981; Finne, 1982; Blickstand & Molin, 1983; Molin et al., 1983), buah (Smith, 1963) dan susu (King & Mabbit, 1982). Ketika bahan tersebut didinginkan selalu mengalami kerusakan yang disebabkan oleh adanya psichrotrophic-gram negatif, bakteri rod-shaped (Mcmeekin, 1982; Shroeder et al., 1982) yaitu spesies pseudomas. Organisme ini tumbuh dengan cepat pada daging dan membuat perubahan pada bau dan tekstur daging. Kebetulan bakteri pseudomonas sensitif terhadap CO2 (Enfors & Molin, 1981); sebagai contoh pertumbuhan ps. Fluorescens yang dirangsang dengan pemberian co2 level rendah (<100mm hg) (Gill & Tan, 1979, 1980) menunjukkan bahwa pertumbuhannya akan menjadi lambat dan laju pertumbuhan berkurang, tidak ada enzim sintesis teramati walaupun terdapat adaptasi genetik (Johnson & Ogrydziak, 1984). Co2 terbukti dapat menghambat perkecambahan spora dari bacillus dan clostridium (Enfors & Molin, 1978) sekarang tak lagi menjadi faktor penting dalam pengawetan makanan beku sejak bakteri pathogen clostridium tumbuh kurang baik pada kondisi ini. Cara pencegahan pertumbuhan bakteri pseodomonas dan sejenisnya pada gudang penyimpanan dapat dilakukan dengan memperkaya atmosfer dengan CO2 adalah salah satu strategi pengawetan yang efektif.
Organisme perusak lainnya seperti Enterobacteriaceae dan lactobacili tidak terlalu sensitif terhadap karbondioksida (Molin, 1983). Walaupun demikian hal tersebut tak menjadi masalah mengingat kedua organisme ini bukanlah bakteri perusak pada makanan beku tersebut.
Dalam keadaan terpaksa, pemberian CO2 untuk efek pencegahan harus ditambahkan ke produk makanan harus dalam bentuk cair. Dalam keadaan setimbang, molekul-molekul gas CO2 pada fase cair selalu dipisahkan melalui reaksi asosiasi dan disosiasi:
CO2 (fase gas)↔CO2 (fase cair)
CO2+H2O↔H2CO3
H2CO3↔HCO3- + H+ pKa 6.35
H2CO3-↔CO32- + H+ pKa 10.33
Konsentrasi kelarutan dari CO2 tergantung pada adanya tekanan parsial sesuai dengan hukum konstan Henry sedangkan tingkat kelarutan gas CO2 di atmosfer ditentukan berdasarkan hukum Fick’s. sebagai hasilnya tingkat kelarutan dari gas yang terdapat dalam makanan cenderung lebih lambat. Hal penting dalam hal kelarutan CO2 sebagai hal tak terpisahkan dari adanya asam karbonat atau anion bikarbonat. Konsentrasi dari anion karbonat (CO32-) dapat di acuhkan pada kondisi physiological. Daya larut dari CO2 akan terpengaruh oleh adanya non-polar dan ion terlarut dan kemungkinan akan menjadi kompleks protein dsb. Oleh adanya gabungan dari karbamat dan koloid (Jones & Greenfield, 1982).
Larangan penggunaan CO2 belum dipahami secara penuh. Hal tersebut karena pengetahuan tentang sumber karbon dan nitrogen untuk pertumbuhan dan peningkatan sensitivitas sering terlihat pada media yang kaya akan untuk bahan makanan (Gill & Tann, 1979). Adanya larangan pada beberapat tempat terhadap dekarboksilasi. Sejumlah dekarboksilasi melepaskan CO2 sebagai produknya (Raven & Smith, 1973) dan aktivitas tersebut mungkin dapat berkumpul dan mempengaruhi tingginya konsentrasi asam karbonat pada sitoplasma. Pada organisme tingkat tinggi CO2 juga menyebabkan kondisi tak sadarkan diri sebagai efek langsung dari fase membran lipid, hanya saja mekanisme tersebut belum dapat dijelaskan. Kenyataannya telah disimpulkan bahwa penggunaan CO2 dapat benar-benar berefek seperti narkotika karena kemampuannya mempengaruhi daya larut lipid dan struktur kimianya. Dan pengaruh dari sifat anestesi ini kemungkinan karena adanya efek tidak langsung dari asam lemah. Bagaimanapun, transport membran tidak sesensitif seperti halnya pertumbuhan pada CO2 konsentrasi tinggi yang menyebabkan membran sel bukanlah tempat terjadinya penghambatan ini. (Eklund, 1984).
Membran sel seharusnya membiarkan terjadinya proses diffusi bebas atas CO2 dan asam karbonat. Untuk sebagian besar bakteri yang mempunyai tingkat pH sel antara 7.6-7.8, ion bikarbonat akan menjadi bagian terbesar pada spesies cytoplasmic. Peningkatan efek dari penghambatan bikarbonat akan meningkat dengan berkurangnya pH eksternal, hal tersebut dapat juga berlaku untuk asam karbonat lainnya atau pada keseimbangan pH dalam suatu tindakan penghambatan. Asam karbonat sperti pada asam lemah lainnya akan menyebabkan efek pada pH internal ketika hal tersebut diedarkan kedalam membran sel, tapi hal tersebut dapat terjadi pada konsentrasi yang relatif tinggi.
2. Belerang Dioksida
Belerang dioksida (SO2-), sufit (SO32-), Bisulfit (HSO3-) dan metabisulfit (S2O42) digunakan pada pengawetan wine, jus buah, buah berkadar air tinggi, sosis dan makanan lainnya (Clark & Takacs, 1980) dan sebagai antioksidan untuk mencegah reaksi beberapa enzim katalis, khususnya brown enzymic dan non-enzymic browning (Robert & Mc.Weeny, 1972). Mekanisme yang tepat dari hal tersebut belum diketahui namun hal tersebut telah menunjukkan bahwa asam sulfur adalah spesies molekuler yang aktif sejak efek dari penghambatan mengalami peningkatan pada pH rendah(Gomez & Herrero, 1983). Tidak seperti asam karbonat, asam sulfur (H2SO3) terdapat pada lebih banyak makanan dalam kondisi anion pada nilai pK:
H2SO3/HSO3- pK 1.81
HSO3-/SO32- pK 6.91
Karena permeabilitas lipid pada asam sulfur hampir dapat dipastikan bahwa konsentrasi dari bisulfit dalam sel akan sesuai untuk keseimbangan pH dan tergantung pada pH, kadar sulfit akan meningkat. Dalam hal ini bisulfit telah menunjukkan adanya akumulasi 50-fold pada ragi pH 3-6 (Maier et al., 1986) kemungkinan terjadi karena adanya mekanisme penangkapan ion. Ion bisulfit mempunyai efek lebih menghambat pada bakteri dan jamur daripada ion sulfit (Babich & Totzky, 1978). Bahkan ketika bahan kimia sulfit ditambahkan pada makanan sebagai percobaan protonasinya ke bisulfit dan asam sulfur seperti pola utama dari mekanisme penghambatan.
Pada studi yang telah ada ditunjukkan bahwa sulfit (5mM) dengan cepat menghabiskan kumpulan ATP dan ADP dan meningkatkan kumpulan AMP pada sel S.cerevisiae yang telah di inkubasi pada pH 3-6 (Maier et al., 1986). Diduga sulfit mempengaruhi energi metabolisme atas dua hal, yaitu glikolisis dan rantai pernapasan fosforilasi akan melemah karena sulfit berkonsentrasi rendah. Sulfit telah ditemukan untuk merangsang aktivitas dari ATPase invitro tetapi ini bukanlah mekanisme dari penghabisan kumpulan ATP. Sulfit (1mM) pada pH 3.6 menyebakan terjadinya intracellular acidification dari pH i 7.2-7.5 sampai 5.4 dimana ada kemungkinan bahwa ada yang bertanggung jawab langsung terhadap penghabisan ATP oleh penghambatan proses glikolisis (Krebs et al., 1983).
3. Nitrit dan Nitrat
Nitrit dan nitrat, seperti garam sodium dan garam potasium sudah digunakan secara luas dalam fermentasi produk dari daging dan untuk pengolahan daging babi menjadi ham dan bacon. Mula-mula ditambahkan zat pencemar seperti sodium klorida, komponen ini penting untuk mempertahankan warna merah daging dan menghalangi pertumbuhan organisme (Pivnick, 1980). Banyak bakteri yang merubah nitrat menjadi nitrit, dan hal itu ternyata kemungkinan dapat membantu menghambat pertumbuhan mikrobia. Kemungkinan, dengan penambahan nitrit itu sendiri dapat memanaskan bentuk dari faktor Perigo-type, dimana penghambatan pada Clostridia mungkin berkontribusi untuk menghambat, contoh: pada daging kalengan. Nitrit telah menjadi perhatian khusus karena reaksinya dengan amina sekunder dapat membentuk zat karsinogen nitrosamin pada daging yang diberi pengawet (wolf & Wasserman, 1972; Crosby & Sawyer, 1976).
Keefektifan sifat anti bakteri dari nitrit meningkat seiring rendahnya nilai pH (Castellani & Niven, 1955) atau dapat meningkatkan konsentrasi dari asam nitrous yang dipisahkan (pKa 3-4). Hal tersebut belum diketahui apakah akan menunjukkan efek pada pHi atau pada beberapa mekanisme untuk mempertahankan pHi, tapi pada nitrit telah menunjukkan kelayakan sebagai zat penghambat transport aktif tapi bukan dari kelompok translasi, respirasi atau oksidasi phosporolation (Rowe et al., 1979; Yarborough et al., 1980)
Penghambatan oleh nitrit dapat dicegah dengan penambahn Cystein dalam kaitanya dengan oksidasi, dan walaupun mekanisme penghambatan oleh nitrit belum diketahui, kemampuan untuk bereaksi dengan kandungan enzim sulphidryl bisa menjadi faktor yang signifikan. Pada Cl.sporogenes nitrit telah dilaporkan menjadi penyebab peningkatan konsentrasi ATP dan pada produksi asam piruvat sehingga mengahambat sistem phosphoroclastic pada metabolisme glukosa (Woods et al., 1981). Hal tersebut juga terbukti pada tempat kedua dari hambatan oleh nitrit sebelum menyerang jalur glikolisis atau dalam pengambilan glukosa (Woods, 1982). Pengurangan produksi ATP akan menyebabkan berkurangnya kapasitas untuk pH, pemeliharaan dan mungkin saja akan berkontribusi juga terhadap penghambatan pertumbuhan pada pH rendah. Bagaimanapun efek dari nitrit pada pH homeostasis belum dipelajari keseluruhan.
PENUTUP
pH merupakan salah satu faktor utama yang menentukan aktivitas protein dari suatu individu, pH eksternal juga memiliki pola metabolisme yang penting. Dalam 10th terakhir telah jelas bahwa pH Cytoplasmic diatur dalam suatu batasan bahwa homeostasis penting untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Oleh karena itu tak heran apabila turunnya pH cytoplasmic adalah penyebab utama penghambatan pertumbuhan yang disebabkan oleh asam lemah pada pengawetan makanan. Penyebab tersebut selalu menjadi hal yang menakjubkan karena dasar mekanisme dari penghambatan oleh pH homestasis masih belum pasti. Pada masa depan, mau tidak mau kita harus mengubah pandangan tentang keadaan umum mekanisme penghambatan pertumbuhan, namun perlu ditingkatkan studi yang lebih mendalam untuk mengetahui hal-hal yang lebih spesifik dari pH.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Baharuddin. 2009. Pengaruh Karbondioksida Murni Terhadap Pertumbuhan Mikroorganisme Pada Produk Minuman Fanta Di PT. Coca-Cola Bottling Indonesia Unit Medan. Karya Ilmiah. Universitas Sumatera Utara.
Anonim, 1979. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 235/Men.Kes/Per/Vi/1979 Tentang Bahan Tambahan Makanan, Direktorat Pengawasan Makanan Dan Minuman. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan Dep. Kes. RI.
Anonim, 2000. Teknologi Pengolahan Pangan. Pusat Informasi Wanita dan Pembangunan, PDII, LIPI. Jakarta.
Buckle, KAR. A.G.H., Fleet M. Wooton., F. M., 1978. Food Science. Brisbane: Watson Ferguson Co.
Cahyadi, W. 2009. Bahan Tambahan Pangan, Analisis Dan Aspek Kesehatan. Bumi Aksara. Jakarta.
Desrosier, N. W. 2001. Teknologi pengawetan makanan. Jakarta: UI press.
Fardiaz, S. 1993. Analisa mikrobiologi pangan. Jakarta: raja grafindo persada
Frazier, W. C., D.C. westhoff. 1978. Food Microbiology. Tata Mc.Graw-Hill Publishing Co. Limited. New Delhi
Freedman, B. J., 1980. Sulphur Dioxide in food and Beveragesits use a preservatives and its effect on asthma., Rr. J. Dis. Chest. 74.
Fox, B. A. and Cameron, A. G. 1982. Food Science. 4th ed. London: Hodder dan Stougton.
Gammon, E. 1985. General chemistry. 6th edition. New york: Houghton Mifflin company.
Hanion, J. F., 1971. Handbook Of Packaging Engineering. New York: Mc. Graw Hill Book Co.
Kristianingrum, Susila. 1997. Perkembangan teknologi pengolahan pangan dan pengaruhnya terhadap konsumen. Cakrawala pendidikan, no 2. Th. XVI.
Permadi. 1986. Bahaya yang mengancam konsumen dalam pengolahan dan penyajian pangan, Proceedings, yogyakarta: PAU pangan dan gizi UGM.
Santoso, SP. 2006. Teknologi Pengawetan Bahan Segar. Laboratorium Kimia Pangan Faperta UWIGA. Malang.
Suriawiria, U. 1985. Pengantar Mikrobiologi Umum. Angkasa. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kami sangat menerima pesan dan kritikan yang sifatnya membangun dari anda semua