3.1 Pengertian BOD, COD dan DO
a. Biological Oxigen Demand (BOD)
Biological Oxigen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis merupakan suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global mendekati proses-proses mikrobiologis dalam air. Pemeriksaan BOD didasarkan pada reaksi oksidasi zat organis dengan oksigen di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerobik. Jadi nilai BOD tidak menunjukan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan tersebut. Jika konsumsi oksigen tertinggi yang ditunjukan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang dibutuhkan oksigen tinggi.
Organisme hidup yang bersifat aerobik membutuhkan oksigen untuk beberapa reaksi biokimia, yaitu untuk mengoksidasi bahan organik, sintesa sel, dan oksidasi sel. Komponen organik yang mengandung senyawa nitrogen dapat pula di oksidasi menjadi nitrat, sedangkan komponen organik yang mengandung sulfur dapat di oksidasi menjadi sulfat. Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasikan air pada suhu 200C selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi. Pengukuran selama 5 hari dengan suhu 200C ini hanya menghitung sebanyak 68% bahan organik yang teroksidasi, tetapi suhu dan waktu yang digunakan tersebut merupakan standar uji karena untuk mengoksidasi bahan organik seluruhnya secara sempurna diperlukan waktu yang lebih lama, yaitu mungkin sampai 20 hari sehingga dianggap tidak efisien.
Air yang hampir murni mempunyai nilai BOD kira-kira 1 ppm, dan air yang memiliki nilai BOD 3 ppm masih di anggap cukup murni, tetapi kemurnia air diragunakn jika nilai BOD-nya mencapai 5 ppm atau lebih. Bahan buangan industri pengolahan pangan seperti industri pengalengan, industri susu, industri gula dan sebagainya memiliki nilai BOD yang bervariasi, yaitu mulai 100 ppm sampai 10.000 ppm, oleh karena itu harus mengalami penanganan atau pengeceran yang tinggi sekali pada saat pembuangan ke badan air disekitarnya seperti, sungai ataupun ke laut, yaitu untuk mencegah terjadinya penurunan konsentrasi oksigen terlarut dengan cepat di dalam badan air tempat pembungan bahan-bahan tersebut. Masalah yang timbul adalah apabila konsentrasi oksigen terlarut badan air tersebut sebelumnya sudah terlalu rendah.
Sebagai akibat menurunnya oksigen terlarut di dalam air adalah menurunnya kehidupan hewan dan tanaman air. Hal ini disebabkan karena mahluk-mahluk hidup tersebut banyak yang mati atau melakukan migrasi ke tempat lainnya yang konsentrasi oksigennya masih cukup tinggi. Jika konsentrasi oksigen terlarut sudah terlalu rendah, maka mikroorganisme aerobik tidak dapat hidup dan berkembang biak, tetapi sebaliknya mikroorganisme yang bersifat anaerobik akan menjadi aktif untuk memecah bahan-bahan tersebut secara anaerobik karena tidak adanya oksigen.
Senyawa-senyawa hasil pemecahan secara anaerobik seperti amin, H2S dan komponen fosfor mempunyai bau yang menyengat, misalnya amin berbau anyir dan H2S berbau busuk. Oleh karena itu perubahan badan air dari kondisi aerobik menjadi anaerobik tidak dikehendaki.
b. Chemical Oxigen Demand (COD)
Chemical Oxigen Demand (COD) merupakan jumlah milligram oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasikan zat organis yang ada dalam jumlah 1 liter sampel air dengan oksidan K2CrO7, atau dengan kata lain untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air, yaitu dengan berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan.
c. Dissolved Oxigen (OD)
Dissolved Oxigen (OD) merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan mahluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Ikan merupakan mahluk air yang memerlukan oksigen tinggi, kemudian invertebrata dan yang terkecil kebutuhan oksigennya adalah bakteri. Biota air hangat memerlukan oksigen terlarut minimal 5 ppm, sedangkan biota air dingin memerlukan oksigen terlarut mendekati jenuh. Konsentrasi oksigen terlarut minimal untuk kehidupan biota tidak boleh kurang dari 6 ppm.
Oksigen terlarut (dissolved oxygen = OD) dapat berasal dari proses fotosintesis tanaman air dimana jumlahnya tidak tetap, tergantung dari jumlah tanamannya, dan dari atmosfer yang masuk ke dalam dengan kecepatan terbatas. Konsentrasi oksigen terlarut dalam jenuh bervariasi tergantung dari suhu dan tekanan atmosfer. Pada suhu 200C dengan tekanan 1 atmosfer konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh adalah 9.2 ppm, sedangkan pada suhu 500C dengan tekanan atmosfer yang sama tingkat kejenuhannya hanya 5.6 ppm. Konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan binatang air lainnya yang membutuhkan oksigen akan mati. Sebaliknya konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu tinggi juga menyebabkan pengkaratan semakin cepat karena oksigen akan mengikat hidrogen yang melapisi permukaan logam.
3.2 Cara Menentukan Nilai BOD, COD dan DO
Kebanyakan bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen mengandung karbon sebagai unsur yang terbanyak. Salah satu reaksi yang terjadi dengan pertolongan bakteri adalah oksidasi karbon menjadi karbon dioksida sebagai berikut :
C + O2 CO2
Dalam reaksi ini diperlukan 32 gram oksigen untuk mengoksidasi 12 gram karbon. Jadi karbon memerlukan oksigen sebanyak 3 kali beratnya untuk melangsungkan reaksi tersebut, atau diperlukan 9 ppm oksigen untuk bereaksi dengan kira-kira 3 ppm karbon terlarut.
Reaksi tersebut di atas disebut reaksi pembakaran sempurna. Tetapi sebelum terbentuknya CO2 mungkin akan terbentuk hasil-hasil oksidasi sementara seperti alkohol, asam, amina, ammonia dan hidrogen sulfida. Senyawa-senyawa tersebut selain berbau busuk juga bersifat racun terhadap hewan dan manusia.
Karena bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen dapat menurunkan oksigen terlatur di dalam air dengan cepat, maka uji terhadap bahan-bahan buangan tersebut penting dilakukan untuk mengetahui polusi air. Untuk mengetahui adanya polutan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu uji BOD (biochemical oxygen demand) dan uji COD (chemical oxygen demand). Pada prinsipnya kedua uji tersebut mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan tersebut melalui reaksi biokimia oleh organisme hidup (dalam uji BOD) atau melalui reaksi kimia (dalam uji COD).
Pemeriksaan BOD didasarkan pada reaksi oksidasi zat organis dengan oksigen di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerobic. Adapun reaksi yang terjadi dapat ditulis sebagai berikut :
CnHaOb + (n+a/4-b/2-3c/4)O2 nCO2 + (a/2-3c/2)H2O + NH3
Atas dasar reaksi tersebut maka diperlukan waktu 2 hari supaya 50% tercapai, 5 hari = 75% dan 20 hari supaya 100%. Karena reaksi BOD terjadi pada botol tertutup maka, jumlah oksigen yang dipakai adalah kadar oksigen dalam larutan pada saat t = 0 dan kadarnya t = 5 hari agar semua sampel mempunyai kandungan BOPD > 6 mg/lt.
Pada uji BOD mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah :
a. Dalam uji BOD ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan-bahan anorganik atau bahan-bahan tereduksi lainnya yang disebut juga “intermediate axygen demand”
b. Uji BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal 5 hari.
c. Uji BOD yang dilakukan selama 5 hari masih belum dapat menunjukan nilai total BOD melainkan hanya kira-kira 68% dari total BOD.
d. Uji BOD tergantung dari adanya senyawa penghambat di dalam air tersebut., misal adanya germisida seperti khlorin dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dibutuhkan untuk merombak bahan organik, sehingga hasil uji BOD menjadi kurang teliti.
Sedangkan pada uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi daripada uji BOD, karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat teroksidasi dalam uji COD. Sembilan puluh persen hasil uji COD yang dilakukan selama 10 menit kira-kira akan setara dengan hasil uji BOD selama 5 hari.
Nilai COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air.
CaHbO2 + Cr2O7 + H+ ΔE CO2 +H2O + Cr3+
Kuning AgSO4 Hijau
Reaksi ini berlangsung selama 2 jam, uap pada labu refluks dengan alat kondensor, agar zat organik volatil tidak lenyap keluar. Penambahan AgSO4 sebagai katalisator dan Mg2SO4 sebagai penghilang gangguan klorida dalam air. K2CrO7 yang tersisa dalam labu refluks (larutan) merupakan penentu jumlah oksigen yang dipakai. Ditentukan dengan titrasi ferro ammonium sulfat (FAS).
6Fe3+ + Cr2O7 + 14H+ 6Fe3+ + 2Cr3+ = 7H2O
Indicator ferroin digunakan untuk menentukan titik akhir titrasi saat warna larutan hijau-biru berubah menjadi coklat merah. Sisa K2CrO7 dalam blangko adalah K2CrO7 awal.
3.4 Standar Nilai BOD COD dan DO Dalam Air dan Air Limbah
Analisis BOD dalam penanganan air limbah akan memberikan indikasi awal adanya bahan toksik. Bila air limbah mempunyai COD yang tinggi dan BOD yang rendah, maka studi toksisitas diperlukan. Sedangkan standar baku mutu air dapat dilihat pada Tabel 3.2 Nilai standar untuk baku mutu air pada sumber air menurut golongan air.
Jumlah oksigen yang rendah dalam sampel (misalnya botol uji) BOD, 2-3 mg menunjukan limbah yang berkekuatan tinggi, seperti kebanyakan limbah pengolahan pangan dan limbah hewan, seharusnya diencerkan terlebih dahulu sebelum di analisis. Sebelum analisis BOD, limbah hewan dapat memputuhkan pengeceran 1:100 sampai 1:1.000 atau lebih. Kesulitan dalam pengeceran limbah baik secara fisik maupun kimia tidak seragam sehingga menurunkan ketepatan uji BOD standar yang diperkirakan mempunyai ketepatan kurang lebih 20%.
Air buangan domestik yang tidak mengandung limbah industri mempunyai BOD kira-kira 200 ppm. Limbah pengolahan pangan umumnya lebih tinggi dan sering kali lebih ari 1.000 ppm.